KIBLAT.NET – Belakangan ini, tema
ulil amri kembali hangat
diperbincangkan di sosial media. Meski sudah final dalam kajian para
ulama, namun ternyata masih ada sebagian masyarakat kita yang belum
mengerti siapa sesungguhnya
ulil amri yang harus ditaati itu. Selama ini, banyak di antara mereka yang memahami bahwa
ulil amri
yang wajib ditaati itu adalah setiap pemimpin yang ada hari ini. Tanpa
peduli, apakah pemimpin tersebut menjalankan syariat Allah ataukah
tidak.
Di sinilah kemudian kajian tentang
ulil amri menjadi tema yang cukup urgen untuk dipahami dengan baik. Pasalnya, ketika definisi
ulil amri
ini tidak dipelajari dengan utuh dan benar, maka rentetan hukum
berikutnya pun—hukum terkait tentang bagaimana memperlakukan
pemimpin—berujung pada kesimpulan yang salah.
Jadi, sebelum berbicara lebih jauh tentang persoalan hukum seputar
ketaatan kepada penguasa, hal yang penting untuk dikaji terlebih dahulu
adalah:
- Apa definisi yang dihadirkan oleh para ulama tentang ulil amri.
- Apa saja kriteria seseorang bisa disebut sebagai ulil amri atau pemimpin umat Islam.
Definisi ulil amri
Secara bahasa, kata
ulil amri terdiri dari dua suku kata yaitu; kata
uli yang bermakna memiliki dan
al-amr yang bermakna memerintah. Dalam
Lisanul Arab, Ibnu Mandzur menguraikan bahwa maksud dari kata
uIi
adalah memiliki. Dalam bahasa Arab, masih menurut Ibnu Mandzur, ia
adalah kata tidak bisa berdiri sendiri, namun selalu harus berdampingan
dengan kata yang lain
(idhafah).
Sedangkan definisi
al-amr, Ibnu Mandzur mengatakan,
“Seseorang
memimpin pemerintahan, bila ia menjadi amir bagi mereka. Amir adalah
penguasa yang mengatur pemerintahannya di antara rakyatnya.” (lihat;
Lisanu Arab: 4/31)
Jadi, menurut istilah, kata
ulil amri dapat didefinisikan
yaitu; para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah
orang-orang yang memegang kendali semua urusan. (lihat:
Al-Mufradat, 25)
Siapakah yang Disebut dengan Ulil Amri?
Para ulama sepakat bahwa hukum taat kepada
ulil amri adalah wajib. Kaum muslimin tidak diperolehkan memberontak
ulil amri
meskipun dalam kepemerintahannya sering berlaku dzalim. Prinsip ini
menjadi pegangan yang lahir dari salah satu pokok aqidah ahlus sunnah
wal jamaah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)
Ibnu Abi ‘Izz dalam Syarah Aqidah Thahawiyah, berkata, “
Hukum
mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan)
walaupun mereka berbuat dzalim. karena kalau keluar dari ketaatan kepada
mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan
kezhaliman penguasa itu sendiri.” (Lihat: Syarh Aqidah Ath Thahawiyah, hal. 381)
Namun kemudian muncul salah satu pertanyaan yang cukup mendasar dan
perlu dijabarkan secara utuh, yaitu; siapakah yang disebut dengan
ulil amri? Apakah setiap pemerintahan yang ada hari ini bisa disebut
ulil amri?
Ketika menjelaskan ayat di atas, para ulama tafsir telah menyebutkan beberapa pandangan tentang siapakah yang dimaksud
ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat tersebut.
Imam At-Tabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai siapa
ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat di atas. Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
ulil amri adalah para penguasa. Sebagian lagi menyebutkan bahwa
ulil amri itu adalah
ahlul ilmi wal fiqh
(mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang fiqh). Ada juga yang
berpendapat bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Dan
Sebagian lainnya berpendapat
ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat
Tafsir at-Thabari, 7/176-182)
Sementara itu Ibnu Katsir, setelah mengutib beberapa pandangan ulama tentang
ulil amri, beliau menyimpulkan bahwa
ulil amri
itu adalah penguasa dan ulama. Lalu beliau mengatakan, “Ayat ini
merupakan perintah untuk menaati para ulama dan penguasa. Oleh karena
itu, Allah ta’ala berfirman,
‘Taatilah Allah,’ maksudnya adalah ikutilah kitab-Nya.
‘Dan taatilah Rasul’ maksudnya adalah ambillah sunnahnya. ‘
Dan ulil amri di antara kalian,’
maksudnya adalah menaati perkara yang diperintahkan oleh mereka berupa
ketaatan kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. (Tafsir Ibnu
Katsir, 4/136)
Perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud
ulil amri
dalam ayat di atas juga disebutkan dalam kitab-kitab tafsir lainnya.
Namun di antara seluruh pendapat tersebut, mayoritas ulama menguatkan
bahwa maksud
ulil amri dalam ayat tersebut ialah para penguasa
dan ulama yang memiliki otoritas dalam mengurus urusan kaum muslimin,
baik urusan dunia maupun agama mereka.
Imam Asy-Syaukani berkata:
وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
“Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556)
Imam Nawawi berkata,
“Ulil amri yang dimaksud adalah orang-orang
yang Allah ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan
pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang
yaitu dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan selainnya.” (Lihat: Syarh Shahih Muslim 12/222)
Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka
adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung
oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara.
Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun
buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari
bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan
senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan
setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian
akan senantiasa di atas kebaikan (Islam ) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (lihat: Majmu’ Fatawa, 28/170)
Dari penjelasan di atas, setidaknya ada tiga kesimpulan mendasar yang dituliskan oleh para ulama dalam memaknai
ulil amri,
pertama: Ulil amri yang wajib ditaati adalah
ulil amri dari kalangan orang-orang beriman
. Kedua: Ketaatan kepada
ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat
. Ketiga: Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaati
Kesimpulan ini selaras dengan tujuan
(maqashid) kepemimpinan
itu sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa tujuan pokok dari adanya
kepemimpinan adalah untuk mengatur kemaslahatan umat, yaitu dengan
menjalankan syariat yang telah Allah gariskan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Oleh karena itu, dalam Islam pemimpin juga disebut sebagai
pengganti peran Nabi SAW dalam menjalankan tugas kenabian.
Imam Al-Mawardi berkata,
“Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (lihat:
Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3)
Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa,
“Kepemimpinan adalah sebagai
proses seseorang (di antara umat Islam ) dalam menggantikan (tugas)
Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi
agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk
mengikutinya.” (lihat: Al-Baidhawi
, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’ , hal. 228, dinukil dari
Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)
Senada dengan itu, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa, “
imamah
(kepemimpinan) merupakan pengganti (tugas) pemegang (otoritas) syariat
dalam melindungi agama dan mengatur urusan keduniawian.” (
Al-Muqaddimah, hal. 195)
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan
ulil amri
adalah para pemimpin umat Islam yang mengatur pemerintahannya dengan
pedoman hukum Allah, yaitu sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam
al-Qur’an dan as-sunnah. Sedangkan para pemimpin negara yang mengatur
kepemerintahannya dengan selain hukum Allah, seperti demokrasi, komunis
dan sebagainya, maka tidaklah layak disebut sebagai
ulil amri.
- Ahmad Naqieb, salah satu da’i salafi yang berdomisili di Mesir,
ketika ditanya apakah pemimpin demokrasi yang ada saat ini layak disebut
ulil amri? Beliau menjawab, “Kita tidak membela kebatilan,
jika demokrasi menjadi asas undang-undang sebuah kepemimpinan maka dia
tidak disebut dengan waliyu syar’i (baca; ulil amri). Berhukum dengan
demokrasi tidak sesuai dengan petunjuk syar’i. Akan tetapi kita menaati
peraturannya demi kemaslahatan.”
Lalu dalam
rekaman yang lain, beliau juga menjelaskan bahwa yang disebut dengan
waliyus syar’i
adalah pemimpin yang menegakkan syariat Islam . Inilah pemimpin yang
wajib ditaati meskipun dia melakukan kedzaliman atau melampaui batas.
Selama ia menegakkan syariat Islam maka dia disebut dengan
waliyus syar’i.
Apakah sepanjang masih salat tetap harus ditaati?
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw menyebut kriteria pemimpin yang
harus ditaati. Salah satunya adalah selama mereka masih menegakkan
shalat. Diriwayatkan dari Muslim dari Auf bin Malik, ia berkata, saya
mendengar Rasulullah saw bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ
وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ،
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ
وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا
نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ
الصَّلَاةَ،
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai
dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka
mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah pemimpin yang
kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan
mereka pun melaknat kalian. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
bolehkah kita menyatakan perang kepada mereka ketika itu?’ beliau
menjawab, ‘Jangan! Selama mereka mengerjakan shalat di tengah-tengah
kalian’.” (HR. Muslim)
Dalam lafadh lain, Rasulullah saw menyebutkan, “
Sungguh akan ada
pemimpin-pemimpin yang kalian kenal (kebaikan mereka, -pen.) dan kalian
ingkari (kemaksiatan mereka, -pen.). Barang siapa mengingkari
kemaksiatannya, dia terlepas dari tanggung jawab. Dan barang siapa
membencinya, dia selamat, tetapi (yang berdosa adalah) mereka yang ridha
dan mengikutinya.” Sahabat bertanya, “Bolehkah kami memerangi mereka?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh, selama
mereka mengerjakan shalat lima waktu bersama kalian.” (HR. Muslim)
Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu barometer ketaatan kepada
ulil amri
adalah selama pemimpin tersebut masih mengerjakan shalat. Sebaliknya,
ketika tidak mau melaksanakan shalat maka tidak ada lagi kewajiban bagi
rakyat menaatinya. Sebab, shalat adalah salah satu pemisah antara orang
mukmin dan kafir. ketika seseorang tidak mau melaksanakan shalat maka
dia sudah melakukan salah satu kekufuran.
Perlu dipahami bahwa pada dasarnya seorang pemimpin harus
dilengserkan dari jabatannya ketika ia melakukan kekufuran. Tidak mau
mengerjakan shalat hanyalah salah satu penyebab kekufuran. Lebih
daripada itu, masih banyak bentuk tindakan lain yang menyebabkan
seseorang menjadi kafir. Di antaranya adalah ketika ia menolak syariat
Allah atau menggantikan undang-undang negara dengan selain hukum Allah.
Pemimpin yang tidak menegakkan syariat maka tidak layak disebut ulil
amri, bahkan ia pun harus dilengserkan dari jabatannya.
Sehingga dalam banyak hadis, Nabi saw membatasi kewajiban taat kepada
pemimpin adalah selama mereka menegakkan hukum Allah. Nabi saw
bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ
عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا
أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah meskipun kaliau
dipimpin oleh hamba sahaya dari habasyi, dengar dan taatilah dia selama
memimpin kalian dengan kitabullah.” (HR. Tirmidzi, no. 1706,
Nasa’i, 7/154, Ibnu Majah, no. 2328, Ahmad, 6/402 dan Al-Hakim, 4/206,
ia berkata hadis shahih dan dishahihkan juga oleh Al-Albani)
Dalam riwayat yang lain dari Ummu Hushain Al-Ahmashiyah r.a ia berkata,
“Saya
melaksanakan haji bersama Rasulullah Saw di Haji Wada’…Rasulullah SAW
menyabdakan banyak hal, lalu saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا
قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ
وَأَطِيعُوا
“Jika kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya yang berhidung cacat—aku rasa belia mengucapkan, ‘berkulit hitam’—yang akan memimpin kalian dengan kitab Allah, maka dengar dan taatilah ia’.” (HR. Muslim)
Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ
“Urusan kepemimpinan ini akan tetap berada di tangan kaum
Quraisy, tidak ada yang menentang mereka kecuali akan Allah seret
mukanya ke neraka, asalkan mereka (kaum Quraisy itu) menegakkan agama
(hukum syariah).” (HR. Al-Bukhari, no. 3500).
Seluruh hadis di atas jelas menunjukkan bahwa syarat seorang pimimpin
yang wajib ditaati adalah ketika ia memimpin dengan berpedoman kepada
kitabullah (baca: Syariat Islam)
.
Adapun ketika ia tidak berhukum dengan syariat Islam maka ia tidak
wajib didengar dan ditaati. Bahkan kondisi yang demikian menuntut kaum
muslimin untuk melengserkannya dari kepemimpinan tersebut.
Sehingga Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ulya, dalam salah satu tulisannya yang di posting dalam situs
Islamway.net,
dengan tegas menyatakan bahwa syarat keabsahan kepemimpinan yang wajib
ditaati adalah ketika mereka berhukum dengan hukum Allah. Karena,
Rasulullah saw dalam beberapa riwayat di atas selalu mengaitkan ketaatan
kepada pemimpin dengan syarat selama pemimpin tersebut menegakkan hukum
Allah.
Bagaimana dengan Pemimpin yang Tidak Menegakkan Hukum Allah
Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa seorang pemimpin layak disebut
ulil amri
ketika ia menegakkan hukum Allah. Ketika itu, rakyat dituntut untuk
taat meskipun dia berlaku dzalim terhadap mereka. Namun sebaliknya,
ketika mereka mengabaikan hukum Allah, maka ia tidak bisa disebut
ulil amri dan rakyat tidak wajib taat kepadanya.
Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu berkata, “
Kewajiban
seorang imam adalah menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan
Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan amanah. Kalau dia sudah melakukan
itu maka wajiblah bagi manusia untuk mendengar dan taat kepadanya serta
bersedia bila diperintahkan sesuatu.” (
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 3319 dengan isnad yang shahih).
Imam Qadhy ’Iyadh menjelaskan, ”
Seandainya seorang penguasa jatuh
dalam kekufuran atau mengubah syariat, serta melakukan bid’ah maka
tidak perlu ditaati. Dan wajib atas kaum Muslim untuk melengserkannya.” (
Syarah Shahih Muslim, 8/35-36)
Abu Abbas Al-Qurthubi dalam kitabnya
Al-Mufhim Syarh Shahih Muslim, (4/39) juga menegaskan,
“Kalau
pemimpin itu tidak mau menegakkan salah satu pondasi agama seperti
penegakan shalat, puasa Ramadhan, pelaksanaan hukum hudud, bahkan
melarang pelaksanaan itu, atau dia malah membolehkan minum khamer, zina
serta tidak mencegahnya maka tak ada perbedaan pendapat bahwa dia harus
dilengserkan.”
Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid menjelaskan,
“Para pemimpin yang
mengingkari syariat Allah, tidak mau berhukum dengan hukum Allah serta
berhukum dengan selain hukum Allah, maka ketaatan kaum muslimin
kepadanya telah lepas. Manusia tidak wajib menaatinya. Karena mereka
telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan). Dimana atas dasar
tujuan tersebut ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh
ditentang.”
Ulil amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka
melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan
agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi
orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum
muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.
Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum
muslim maka hak kepemimpinan telah hilang darinya. Umat (dalam hal ini
diwakili oleh
Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah
kembalinya kendali permasalahan) wajib mencopotnya dan menggantinya
dengan orang yang mampu merealisasikan tujuan kepemimpinan.
Ketika Ahlis Sunnah tidak membolehkan keluar dari para pemimpin yang
zalim dan fasik—karena kejahatan dan kezaliman tidak berarti
menyia-nyiakan agama— maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang
berhukum dengan syariat Allah. Kalangan salafus shalih tidak mengenal
istilah pemimpin (
ulil amri) yang tidak menjaga agama.
Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah
ulil amri. Yang dimaksud kepemimpinan (
ulil amri)
adalah menegakan agama. Setelah itu baru ada yang namanya kepemimpinan
yang baik dan kepemimpinan yang buruk.” (Abdullah bin Abdul Hamid,
Al Wajiz Fi Aqidati al–Salaf al–Shâlih Ahli al Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 169)
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak semua pemimpin negara saat ini layak disebut
ulil amri, karena tugas utama yang paling pokok bagi
ulil amri
adalah mewujudkan tujuan-tujuan kepemimpinan di dalam Islam , yaitu
menegakkan agama dan mengatur rakyatnya dengan syariat Islam . Peran
inilah yang kemudian ia disebut sebagai
ulil amri yang wajib
ditaati dan tidak boleh dilawan. Sedangkan pemimpin sekuler yang tidak
menegakkan agama atau bahkan berhukum dengan undang-undang demokrasi,
maka jelas tidak pantas untuk disebut
ulil amri.
Wallahu a’lam bis shawab!
Penulis : Fakhruddin
Kredit : http://www.kiblat.net