Cari Blog Ini

Jumlah Paparan Halaman

Catatan Popular Minggu Lepas

Isnin, 16 Mei 2016

Ulil Amri yang Wajib Ditaati

Ulil Amri yang Wajib Ditaati

KIBLAT.NET – Belakangan ini, tema ulil amri kembali hangat diperbincangkan di sosial media. Meski sudah final dalam kajian para ulama, namun ternyata masih ada sebagian masyarakat kita yang belum mengerti siapa sesungguhnya ulil amri yang harus ditaati itu. Selama ini, banyak di antara mereka yang memahami bahwa ulil amri yang wajib ditaati itu adalah setiap pemimpin yang ada hari ini. Tanpa peduli, apakah pemimpin tersebut menjalankan syariat Allah ataukah tidak.
Di sinilah kemudian kajian tentang ulil amri menjadi tema yang cukup urgen untuk dipahami dengan baik. Pasalnya, ketika definisi ulil amri ini tidak dipelajari dengan utuh dan benar, maka rentetan hukum berikutnya pun—hukum terkait tentang bagaimana memperlakukan pemimpin—berujung pada kesimpulan yang salah.

Jadi, sebelum berbicara lebih jauh tentang persoalan hukum seputar ketaatan kepada penguasa, hal yang penting untuk dikaji terlebih dahulu adalah:
  1. Apa definisi yang dihadirkan oleh para ulama tentang ulil amri.
  2. Apa saja kriteria seseorang bisa disebut sebagai ulil amri atau pemimpin umat Islam.
Definisi ulil amri

Secara bahasa, kata ulil amri terdiri dari dua suku kata yaitu; kata uli yang bermakna memiliki dan al-amr yang bermakna memerintah. Dalam Lisanul Arab, Ibnu Mandzur menguraikan bahwa maksud dari kata uIi adalah memiliki. Dalam bahasa Arab, masih menurut Ibnu Mandzur, ia adalah kata tidak bisa berdiri sendiri, namun selalu harus berdampingan dengan kata yang lain (idhafah).
Sedangkan definisi al-amr, Ibnu Mandzur mengatakan, “Seseorang memimpin pemerintahan, bila ia menjadi amir bagi mereka. Amir adalah penguasa yang mengatur pemerintahannya di antara rakyatnya.” (lihat; Lisanu Arab: 4/31)

Jadi, menurut istilah, kata ulil amri dapat didefinisikan yaitu; para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah orang-orang yang memegang kendali semua urusan. (lihat: Al-Mufradat, 25)

Siapakah yang Disebut dengan Ulil Amri?

Para ulama sepakat bahwa hukum taat kepada ulil amri adalah wajib. Kaum muslimin tidak diperolehkan memberontak ulil amri meskipun dalam kepemerintahannya sering berlaku dzalim. Prinsip ini menjadi pegangan yang lahir dari salah satu pokok aqidah ahlus sunnah wal jamaah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)

Ibnu Abi ‘Izz dalam Syarah Aqidah Thahawiyah, berkata, “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) walaupun mereka berbuat dzalim. karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri.” (Lihat: Syarh Aqidah Ath Thahawiyah, hal. 381)

Namun kemudian muncul salah satu pertanyaan yang cukup mendasar dan perlu dijabarkan secara utuh, yaitu; siapakah yang disebut dengan ulil amri?  Apakah setiap pemerintahan yang ada hari ini bisa disebut ulil amri?

Ketika menjelaskan ayat di atas, para ulama tafsir telah menyebutkan beberapa pandangan tentang siapakah yang dimaksud ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat tersebut.

Imam At-Tabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai siapa ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat di atas. Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah para penguasa. Sebagian lagi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang fiqh). Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Dan Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat Tafsir at-Thabari, 7/176-182)

Sementara itu Ibnu Katsir, setelah mengutib beberapa pandangan ulama tentang ulil amri, beliau menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah penguasa dan ulama. Lalu beliau mengatakan, “Ayat ini merupakan perintah untuk menaati para ulama dan penguasa. Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman, ‘Taatilah Allah,’ maksudnya adalah ikutilah kitab-Nya. ‘Dan taatilah Rasul’ maksudnya adalah ambillah sunnahnya. ‘Dan ulil amri di antara kalian,’ maksudnya adalah menaati perkara yang diperintahkan oleh mereka berupa ketaatan kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/136)

Perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud ulil amri dalam ayat di atas juga disebutkan dalam kitab-kitab tafsir lainnya. Namun di antara seluruh pendapat tersebut, mayoritas ulama menguatkan bahwa maksud ulil amri dalam ayat tersebut ialah para penguasa dan ulama yang memiliki otoritas dalam mengurus urusan kaum muslimin, baik urusan dunia maupun agama mereka.

Imam Asy-Syaukani berkata:
وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.”  (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556)

Imam Nawawi berkata, “Ulil amri yang dimaksud adalah orang-orang yang Allah ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang yaitu dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan selainnya.” (Lihat: Syarh Shahih Muslim 12/222)

Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam ) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (lihat: Majmu’ Fatawa, 28/170)

Dari penjelasan di atas, setidaknya ada tiga kesimpulan mendasar yang dituliskan oleh para ulama dalam memaknai ulil amri, pertama: Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman. Kedua: Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat. Ketiga: Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam  sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaati

Kesimpulan ini selaras dengan tujuan (maqashid) kepemimpinan itu sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa tujuan pokok dari adanya kepemimpinan adalah untuk mengatur kemaslahatan umat,  yaitu dengan menjalankan syariat yang telah Allah gariskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, dalam Islam  pemimpin juga disebut sebagai pengganti peran Nabi SAW dalam menjalankan tugas kenabian.

Imam Al-Mawardi berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (lihat: Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3)

Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa, “Kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam ) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikutinya.” (lihat: Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’ , hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)

Senada dengan itu, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa, “imamah (kepemimpinan) merupakan pengganti (tugas) pemegang (otoritas) syariat dalam melindungi agama dan mengatur urusan keduniawian.” (Al-Muqaddimah, hal. 195)

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan ulil amri adalah para pemimpin umat Islam yang mengatur pemerintahannya dengan pedoman hukum Allah, yaitu sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Sedangkan para pemimpin negara yang mengatur kepemerintahannya dengan selain hukum Allah, seperti demokrasi, komunis dan sebagainya, maka tidaklah layak disebut sebagai ulil amri.
  1. Ahmad Naqieb, salah satu da’i salafi yang berdomisili di Mesir, ketika ditanya apakah pemimpin demokrasi yang ada saat ini layak disebut ulil amri? Beliau menjawab, “Kita tidak membela kebatilan, jika demokrasi menjadi asas undang-undang sebuah kepemimpinan maka dia tidak disebut dengan waliyu syar’i (baca; ulil amri). Berhukum dengan demokrasi tidak sesuai dengan petunjuk syar’i. Akan tetapi kita menaati peraturannya demi kemaslahatan.”
Lalu dalam rekaman yang lain, beliau juga menjelaskan bahwa yang disebut dengan waliyus syar’i adalah pemimpin yang menegakkan syariat Islam . Inilah pemimpin yang wajib ditaati meskipun dia melakukan kedzaliman atau melampaui batas. Selama ia menegakkan syariat Islam maka dia disebut dengan waliyus syar’i.

Apakah sepanjang masih salat tetap harus ditaati?

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw menyebut kriteria pemimpin yang harus ditaati. Salah satunya adalah selama mereka masih menegakkan shalat. Diriwayatkan dari Muslim dari Auf bin Malik, ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ،
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kita menyatakan perang kepada mereka ketika itu?’ beliau menjawab, ‘Jangan! Selama mereka mengerjakan shalat di tengah-tengah kalian’.” (HR. Muslim)

Dalam lafadh lain, Rasulullah saw menyebutkan, “Sungguh akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal (kebaikan mereka, -pen.) dan kalian ingkari (kemaksiatan mereka, -pen.). Barang siapa mengingkari kemaksiatannya, dia terlepas dari tanggung jawab. Dan barang siapa membencinya, dia selamat, tetapi (yang berdosa adalah) mereka yang ridha dan mengikutinya.” Sahabat bertanya, “Bolehkah kami memerangi mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh, selama mereka mengerjakan shalat lima waktu bersama kalian.” (HR. Muslim)

Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu barometer ketaatan kepada ulil amri adalah selama pemimpin tersebut masih mengerjakan shalat. Sebaliknya, ketika tidak mau melaksanakan shalat maka tidak ada lagi kewajiban bagi rakyat menaatinya. Sebab, shalat adalah salah satu pemisah antara orang mukmin dan kafir. ketika seseorang tidak mau melaksanakan shalat maka dia sudah melakukan salah satu kekufuran.

Perlu dipahami bahwa pada dasarnya seorang pemimpin harus dilengserkan dari jabatannya ketika ia melakukan kekufuran. Tidak mau mengerjakan shalat hanyalah salah satu penyebab kekufuran. Lebih daripada itu, masih banyak bentuk tindakan lain yang menyebabkan seseorang menjadi kafir. Di antaranya adalah ketika ia menolak syariat Allah atau menggantikan undang-undang negara dengan selain hukum Allah. Pemimpin yang tidak menegakkan syariat maka tidak layak disebut ulil amri, bahkan ia pun harus dilengserkan dari jabatannya.

Sehingga dalam banyak hadis, Nabi saw membatasi kewajiban taat kepada pemimpin adalah selama mereka menegakkan hukum Allah. Nabi saw bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah meskipun kaliau dipimpin oleh hamba sahaya dari habasyi, dengar dan taatilah dia selama memimpin kalian dengan kitabullah.” (HR. Tirmidzi, no. 1706, Nasa’i, 7/154, Ibnu  Majah, no. 2328, Ahmad, 6/402 dan Al-Hakim, 4/206, ia berkata hadis shahih dan dishahihkan juga oleh Al-Albani)

Dalam riwayat yang lain dari Ummu Hushain Al-Ahmashiyah r.a ia berkata, “Saya melaksanakan haji bersama Rasulullah Saw di Haji Wada’…Rasulullah SAW menyabdakan banyak hal, lalu saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا
“Jika kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya yang berhidung cacat—aku rasa belia mengucapkan,  ‘berkulit hitam’—yang akan memimpin kalian dengan kitab Allah, maka dengar dan taatilah ia’.” (HR. Muslim)

Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ
“Urusan kepemimpinan ini akan tetap berada di tangan kaum Quraisy, tidak ada yang menentang mereka kecuali akan Allah seret mukanya ke neraka, asalkan mereka (kaum Quraisy itu) menegakkan agama (hukum syariah).” (HR. Al-Bukhari, no. 3500).

Seluruh hadis di atas jelas menunjukkan bahwa syarat seorang pimimpin yang wajib ditaati adalah ketika ia memimpin dengan berpedoman kepada kitabullah (baca: Syariat Islam). Adapun ketika ia tidak berhukum dengan syariat Islam maka ia tidak wajib didengar dan ditaati. Bahkan kondisi yang demikian menuntut kaum muslimin untuk melengserkannya dari kepemimpinan tersebut.

Sehingga Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ulya, dalam salah satu tulisannya yang di posting dalam situs Islamway.net, dengan tegas menyatakan bahwa syarat keabsahan kepemimpinan yang wajib ditaati adalah ketika mereka berhukum dengan hukum Allah. Karena, Rasulullah saw dalam beberapa riwayat di atas selalu mengaitkan ketaatan kepada pemimpin dengan syarat selama pemimpin tersebut menegakkan hukum Allah.

Bagaimana dengan Pemimpin yang Tidak Menegakkan Hukum Allah

Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa seorang pemimpin layak disebut ulil amri ketika ia menegakkan hukum Allah. Ketika itu, rakyat dituntut untuk taat meskipun dia berlaku dzalim terhadap mereka. Namun sebaliknya, ketika mereka mengabaikan hukum Allah, maka ia tidak bisa disebut ulil amri dan rakyat tidak wajib taat kepadanya.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kewajiban seorang imam adalah menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan amanah. Kalau dia sudah melakukan itu maka wajiblah bagi manusia untuk mendengar dan taat kepadanya serta bersedia bila diperintahkan sesuatu.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 3319 dengan isnad yang shahih).

Imam Qadhy ’Iyadh menjelaskan, ”Seandainya seorang penguasa jatuh dalam kekufuran atau mengubah syariat, serta melakukan bid’ah maka tidak perlu ditaati. Dan wajib atas kaum Muslim untuk melengserkannya.” (Syarah Shahih Muslim, 8/35-36)

Abu Abbas Al-Qurthubi dalam kitabnya Al-Mufhim Syarh Shahih Muslim, (4/39) juga menegaskan, “Kalau pemimpin itu tidak mau menegakkan salah satu pondasi agama seperti penegakan shalat, puasa Ramadhan, pelaksanaan hukum hudud, bahkan melarang pelaksanaan itu, atau dia malah membolehkan minum khamer, zina serta tidak mencegahnya maka tak ada perbedaan pendapat bahwa dia harus dilengserkan.”

Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid menjelaskan, “Para pemimpin yang mengingkari syariat Allah, tidak mau berhukum dengan hukum Allah serta berhukum dengan selain hukum Allah, maka ketaatan kaum muslimin kepadanya telah lepas. Manusia tidak wajib menaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan). Dimana atas dasar tujuan tersebut ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh ditentang.”

Ulil amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.

Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka hak kepemimpinan telah hilang darinya. Umat (dalam hal ini diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) wajib mencopotnya dan menggantinya dengan orang yang mampu merealisasikan tujuan kepemimpinan.

Ketika Ahlis Sunnah tidak membolehkan keluar dari para pemimpin yang zalim dan fasik—karena kejahatan dan kezaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama— maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan salafus shalih tidak mengenal istilah pemimpin (ulil amri) yang tidak menjaga agama.

Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah ulil amri. Yang dimaksud kepemimpinan (ulil amri) adalah menegakan agama. Setelah itu baru ada yang namanya kepemimpinan yang baik dan kepemimpinan yang buruk.” (Abdullah bin Abdul Hamid, Al Wajiz Fi Aqidati alSalaf alShâlih Ahli al Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 169)

Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak semua pemimpin negara saat ini layak disebut ulil amri, karena tugas utama yang paling pokok bagi ulil amri adalah mewujudkan tujuan-tujuan kepemimpinan di dalam Islam , yaitu menegakkan agama dan mengatur rakyatnya dengan syariat Islam . Peran inilah yang kemudian ia disebut sebagai ulil amri yang wajib ditaati dan tidak boleh dilawan. Sedangkan pemimpin sekuler yang tidak menegakkan agama atau bahkan berhukum dengan undang-undang demokrasi, maka jelas tidak pantas untuk disebut ulil amri. 

Wallahu a’lam bis shawab!

Penulis : Fakhruddin

Kredit : http://www.kiblat.net

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

HAK ANDA UNTUK KOMEN

Nak beli domain dan nak buat website? boleh cuba link yang di beri...

Nak beli domain mudah dan servis terbaik....  https://secure.gbnetwork.com/aff.php?aff=778    klik banner yang kami beri ini...   Testim...

Catatan Paling Popular